Opini: Muhammad Anshori, MA, Anggota Dewan Pendidikan Provinsi Kepulauan Babel dan Pendidik di Pontren Darurrohmah Lubukbesar
Perhelatan Seleksi Tilawatil Qur'an (STQ) tingkat kabupaten/kota tahun 2015 di beberapa kabupaten/kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung begitu semarak. Acara bernuansa islami ini, seyogianya, patut diapresiasi lebih. Penghargaan lebih tinggi perlu diberikan, tidak hanya karena event ini sengaja didesain sebagai ajang berjenjang untuk mencari qori'-qori'ah dan tahfizh-tahfizhah Al-Qur'an terbaik daerah, namun juga menjadi sarana dan momentum untuk mengakarkan kembali kecintaan umat pada kitab suci Al-Qur'an.
Keberadaan event STQ dan karenanya kitab suci Al-Qur'an itu sendiri, saat ini dihadapkan dengan berbagai tantangan bahkan rintangan yang luar biasa baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, posisi Al-Qur'an yang merupakan kitab suci dalam akidah keimanan serta pedoman praktis keumatan, tampaknya semakin bergeser dalam derajat perlakuan yang minimalis. Jelasnya, Al-Qur'an 'terasa' dikesampingkan dan diperlakukan sebagai yang nomor dua, 'the second' oleh (sebagian) umat.
Meski belum ada penelitian yang dilakukan mengenai kuantitas individu atau masyarakat yang mampu membaca (mengaji) Al-Qur'an secara baik, namun paling tidak secara kualitatif bisa diduga, bahwa kualitas baca Al-Qur'an untuk sebagian individu atau masyarakat masih dalam taraf yang sangat rendah. Hipotesa itu dapat diuji kemungkinannya melalui konfirmasi realitas saat ini. Bahwa hampir jarang terdengar_untuk tidak mengatakan langka sama sekali_bagaimana perlakuan terhadap Al-Qur'an baik dari sisi pembacaan, lebih-lebih pemaknaan, serta pengamalannya, dijadikan program wajib atau bahkan dibudayakan dalam tradisi kebiasaan individu, keluarga atau masyarakat.
Realitas faktual ini tentunya berbanding terbalik dengan kualitas individu, keluarga atau masyarakat pada era-era sebelumnya, dimana pembacaan, pemahaman, serta pengamalan Al'Quran menjadi simbol prestasi dan prestise sosial. Fakta ini mudah ditelusuri melalui jejak praktik dan tradisi kearifan lokal yang membumi dalam siklus perjalanan kehidupan hingga kematian masyarakat lokal. Yakni, prosesi ritual mengaji Al-Qur'an mulai dari kelahiran, menikah hingga meninggal dunia. Sampai hari ini tradisi tersebut masih berlangsung pada sebagian masyarakat terutama di wilayah perdesaan seperti yang dikenal dengan tradisi khataman Qur'an, tahlilan (yasinan), tadarusan, dan acara lainnya yang pada prinsipnya mengarusutamakan pengajian Al-Qur,an dalam serangkaian acaranya.
Secara eksternal, eksistensi Al-Quran dalam praktik keumatan dihadang oleh laju tsunami budaya pop(uler) kontemporer yang begitu deras. Budaya populer yang beranak-pinak dari budaya luar (sebut saja westernisasi), terkadang menerabas dan merobek secara fundamental jantung akidah, nilai-nilai, moralitas dan etika yang dijunjung tinggi masyarakat lokal selama ini. Budaya pop seakan mendapatkan lajur semaiannya karena diberi jalur dan dukungan oleh tekhnologi, finansial, dan media informasi seperti televisi, radio, internet, film pop, musik pop, konsumsi dan seterusnya (John Storey, 1996).
Tak aneh jika saat ini, dengan tidak habis pikir, kita menyaksikan gaya hidup subkultur yang serba ikut-ikutan, tiru-tiruan, dan latah terhadap budaya (asing) yang datang dari luar. Fenomena sosial itu menghinggapi prilaku remaja. Mereka gemar meniru gaya, trend, dan cara hidup figur atau sosok yang diidolakannya sebagai jalan 'kemoderenan, kebebasan, dan kegaulan'. Padahal di sisi lain, banyak dari mereka sendiri yang mungkin tidak memahami latar belakang ide, idiologi bahkan politik dibalik gaya hidup tersebut.