Opini: Politik Jiwa Besar

Written By Unknown on Selasa, 02 September 2014 | 11.37

Ibrahim, Dosen FISIP Universitas Bangka Belitung Aktif di The Ilalang Institute

Dua Pemilu belakangan, Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden, sungguh telah menghadirkan sesuatu yang amat nyata bagi bangsa ini, yakni miskinnya komitmen politik dan semakin tergusurnya nilai-nilai etika politik. Jika sebelum Pemilu semua pihak beramai-ramai mendeklarasikan diri sebagai kandidat yang siap menang dan siap kalah, maka pasca Pemilu banyak pihak yang tak puas dan kemudian mengambil langkah-langkah yuridis.
Pada Pemilu legislatif, kontestasi berjalan amat hebat, tentu yang lebih kencang adalah kontestasi di tingkat internal partai politik. Para kandidat dalam satu partai hanyut dalam persaingan yang lebih cenderung kurang sehat ketimbang sebuah politik kedewasaan. Banyak kandidat yang menempatkan kontestasi sebagai harga tertinggi, termasuk untuk mendelegitimasi sesama kontestan dalam satu partai politik.
Dalam beberapa kasus, pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa kampanye dengan duet antarpartai lebih disukai ketimbang duet internal partai. Kawan sesama partai dianggap sebagai saingan yang lebih berbahaya. Sampai di sini, kontestasi di legislatif mengajarkan kita betapa masih miskinnya kualitas berdemokrasi para politisi kita. Meski demikian, tentu tak dapat dipungkiri kemajuan di berbagai sisi mengenai semakin matangnya sebagian besar sikap politik para reprsentator kita.
Di beberapa tempat, kontestasi di internal partai tak jarang berujung pada gugat-menggugat. Bahkan karena tipisnya selisih kemenangan, tak jarang petugas PPK dipaksa untuk menghitung ulang suara. Situasi ini sekaligus menunjukkan betapa rapuhnya sistem kepercayaan dalam penyelenggaraan Pemilu kita. KPU, di berbagai jenjang dianggap tak imbang karena memenangkan satu pihak. Pernyataan lucu karena KPU sebagai penyelenggara tak mungkin menunjuk pemenang lebih dari satu.
Potret buram berikutnya dapat disaksikan melalui drama panjang Pilpres. Deklarasi siap menang dan siap kalah hanya menjadi jargon seremonial manakala hasil sudah diumumkan. Tudingan curang, terstruktur, dan massif berujun pada tuntutan ke MK memporak-porandakan bangunan politik bernama komitmen kebangsaan. Komitmen untuk menerima hasil Pemilu, apapun hasilnya, nyatanya dipakai hanya sekedar sebagai modal untuk menimbulkan kepercayaan publik atas kebesaran jiwa. Kini, MK telah memutuskan bahwa Pilpres dapat diterima. DKPP pun telah umumkan kepada publik mengenai pelanggaran etik yang dilakukan, namun tak sampai merubah hasil Pilpres. Setelah kedua lembaga tertinggi dalam Pemilu itu mengeluarkan hasilnya, lembaga hukum apalagi yang dibayangkan akan menjadi tempat pengaduan.
Mahkamah politis pun siap digelar. Partai-partai politik pengusung salah satu pasangan yang kalah siap untuk membentuk Pansus Pilpres. Tudingan bahwa kecurangan secara terstruktur, massif, dan sistematis tetap dialamatkan. Kini pengadilan politik menanti. Pengadilan yang dibayangkan bersemayam di balik jubah para hakim dianggap tidak lebih baik daripada jubah parlemen yang diisi oleh orang-orang yang pintar dan hasil pilihan rakyat. Jika ini betul terjadi, maka sungguh dagelan politik sedang terjadi di negeri ini.
Setidaknya ada dua modal utama yang harus dimiliki oleh para politisi agar dapat menjadi politisi bermanfaat bagi negeri ini, yakni komitmen etik politik dan dorongan untuk berbuat kebaikan. Komitmen politik tersebut salah satunya ditampakkan dengan keteguhan untuk memegang komitmen yang sudah dijadikan sebagai slogan. Jika memang siap menang dan siap kalah, maka ketika kalah yang bersangkutan harus ikhlas menerima kekalahan tersebut.
Betul bahwa potensi dan aktus Pemilu tak memungkinkan kesempernaan, namun ketika kesalahan kecil dianggap sebagai penyebab kekalahan, disinilah komitmen politik sedang diuji. Yang lebih sering terjadi adalah ketika seorang politisi bertarung, ia kerap tak menyadari bahwa ia memang tak menjadi pilihan mayoritas.
Kedua adalah mengenai hasrat untuk berbuat baik. Seorang politisi yang memang sejak awal berhasrat pada kebaikan, pastilah ia akan menjalani kontetasi dengan penuh elegansi, komitmen kebenaran, termasuk menghindari cara-cara keji untuk memenangkan dirinya. Selebihnya, manakala ia menang, maka ia pun akan fokus pada pengabdian yang terbaik.
Masyarakat kini punya tugas berat. Pertama adalah bagaimana memastikan legislator tersebut memegang komitmen politisnya dan kedua adalah bagaimana memastikan para legislator yang terpilih betul-betul bekerja untuk masyarakat banyak.
Perjalanan panjang dua Pemilu terakhir mengajarkan pada kita bahwa komitmen untuk sama-sama menciptakan politik yang santun masih menjadi barang mewah di negeri ini. Oleh karena itu, publik harus dengan sendirinya mengoreksi perilaku yang demikian. Caranya sangat sederhana, yakni memberikan takaran pada politisi yang berkontestasi. Jika menilai mereka tak siap kalah, maka tentu publik harus mempertimbangkan keputusan politiknya. Jangan sampai, publik yang menjadi partisan kemudian hanya menjadi sarana adu domba, lebih tepatnya diperalat untuk ambisi kekuasaan semata.
Tugas kedua yang tak kalah penting adalah bagaimana memastikan bahwa legislator yang terpilih memang akan bekerja. Kini publik dapat mengakses kinerja mereka dan jaminannya adalah regulasi keterbukaan informasi publik. Dewan yang nyata-nyata tidak bekerja harusnya tidak lagi dipilih pada Pemilu mendatang.
Tugas publik luas dengan demikian tidak hanya memastikan bahwa kandidat yang dipilih memang adalah kandidat yang mumpuni, tetapi juga memastikan bahwa mereka memang bekerja. Publik tak boleh permisif terhadap proses politik karena bagaimanapun para politisi umumnya selalu piawai menghipnotis publik dengan retorikanya. Dibutuhkan kerja-kerja tambahan untuk memastikan bahwa mereka yang terpilih memang layak untuk dipilih.
Provokasi yang kerapkali muncul sesungguhnya hanyalah cara-cara tersirat untuk memastikan bahwa dukungan ambisi masih ada. Oleh karena itu, semua pihak sebaiknya tidak terprovokasi oleh mereka yang hanya haus kekuasaan. Bagaimanapun publik hanya akan menjadi korban atas proses politik yang berlarut-larut.
Belajar dari pengalaman Thailand, ekonomi negara ini memburuk setelah proses politik terus mengalami kebuntuan. Publik mereka didesain saling berhadap-hadapan dan resikonya tentu adalah kerugian di pihak publik. Ketika para politisi bertengkar, para pendukung akan larut. Setelah, tetap saja publik luas yang akan dirugikan. Perekonomian akan lumpuh, belum lagi inefisiensi di banyak sektor.
Menyongsong kehadiran para legislator baru, maka pilihan paling tepat saat ini adalah menanti prestasi kerja mereka. Di parlemen, lebih kurang 40-an % adalah wajah lama, artinya peluan bagi perubahan bersandar di pundak wajah baru. Mari menyambut kehadiran mereka, memantau, dan tentu memberikan penilaian kepada mereka.
Menyongsong kehadiran Presiden dan Wakil Presiden baru, pilihannya adalah bagaimana menciptakan suasana kondusif di tengah-tengah masyarakat pendukung. Masyarakat dituntut untuk bijak menyambutnya, tentu dengan derajat kewaspadaan yang tinggi untuk tetap mengkritisi dan mematut-matut jalannya pemerintahan.
Kontestasi politik telah usai. Yang tertinggal sekarang adalah dukungan untuk saling membantu. Masyarakat yang sempat terbelah harus merajut kohesi sosial kembali. Politisi terbaik telah diantar, giliran berikutnya adalah memantau mereka. Permusuhan karena perbedaan pandangan dan pilihan politik sudah harus disudahi. Kontetasi hanyalah sebuah cara untuk memilih, bukan hakikat dari kehidupan. Mari bijak menyambut wajah-wajah baru politisi kita; wajah-wajah yang penuh vitalitas untuk bekerja. (*)

Simak berita lengkapnya di Bangka Pos / Pos Belitung / Koran BN edisi cetak.


Anda sedang membaca artikel tentang

Opini: Politik Jiwa Besar

Dengan url

http://bangkabarita.blogspot.com/2014/09/opini-politik-jiwa-besar.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Opini: Politik Jiwa Besar

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Opini: Politik Jiwa Besar

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger