Oleh: Ibrahim, Dosen FISIP Universitas Bangka Belitung, Pegiat di `The Ilalang Institute'
Debat mengenai politik uang sampai sekarang masih sangat kencang. Alih-alih mereda, diskursus teoritis dan praktis akan hal ini semakin mengemuka ketika justru Pemilu Legislatif 2014 menjelang. Bagaimana sebetulnya batasan definisi politik uang belumlah terlampau jelas. Ada beberapa faktor yang menyebabkan masih tidak finalnya definisi tersebut. Pertama, ragam politik uang teramat luas sehingga batas antara ragam menjadi tidak jelas. Dalam banyak kasus, politik uang tidak selalu terkait dengan uang dalam arti lembaran rupiah, tetapi juga dalam bentuk fisik lain. Bahkan, pada tataran yang lebih luas, politik uang juga bisa terkait dengan sesuatu yang sifatnya intangible.
Kedua, sistem politik kita masih melekatkan konsekuensi pada mahalnya biaya politik yang kadang tidak bisa dijelaskan karena tidak bisa dibedakannya antara biaya politik, biaya administrasi, atau biaya-biaya lainnya. Sistem Pemilu membuka ruang semakin kaburnya pemanfaatan ongkos politik dalam berbagai tahapan.
Ketiga, politik uang susah dibuktikan karena debat-debat yuridis bisa disiasati dengan cara-cara yang lebih manipulatif. Hukum kita adalah hukum positif yang melekatkan tafsir yang teramat kaku. Para politisi dan perangkat timnya memiliki kemampuan bermain pada ranah otak-atik kata yang berimplikasi pada debat yuridis. Sebagai contoh sederhana, politik uang kerapkali dimaknai secara parsial sekedar dalam bentuk pembagian rupiah, padahal secara politis substansial, uang tidak sesederhana itu. Ketika berada di ranah yuridis, define politik uang akan sangat terbatas dan dengan sendirinya tidak memiliki konsekuensi yuridis.
Keempat, ada semacam horor umum yang melanda bahwa politik elektoral haruslah menyertakan politik uang. Tak ada kemenangan tanpa logistik yang memadai. Politik elektoral kemudian berubah menjadi perang finansial, perang politik uang, dan pada akhirnya mengaburkan makna kontestasi yang sesungguhnya. Uang seakan menjadi mantra sakti sehingga ketika berbicara soal kampanye, mind set para kontestan, tim sukses, maupun masyarakat umum selalu identik dengan kemampuan uang dan pendistribusiannya dalam ragam yang rupa-rupa.
Memahami politik uang
Apakah politik uang selalu bermakna uang dalam bentuk fisik? Saya kira tidak. Edward Aspinall (2014) menggunakan istilah politik patronase untuk menggambarkan materi yang diberikan oleh seorang kontestan dan pendukungnya kepada para pemilih yang dibidik. Menurut Aspinall, ada empat bentuk politik patronase, yaitu (1) uang, menyangkut pemberian uang cash untuk berbagai alasan (2) barang, seperti sembako, bantuan untuk pembangunan masjid, baju, dan sebagainya, (3) pelayanan, seperti pendidikan gratis kepada pendukungnya, dan (4) peluang ekonomi, misalnya peluang kerja, peluang izin proyek, kontrak, dan sebagainya.
Berdasarkan asumsi di atas, politik uang dengan demikian dikerangkai dalam batasan yang sangat luas. Meski demikian, substansinya sederhana bahwa politik patronase adalah pemberian sesuatu apapun yang berkaitan langsung dengan proses pemenangan politik. Politik patronase dapat dilakukan sang kontestan langsung, tim sukses, maupun sponsor yang mendukung calon, diperintah atau tidak secara lanngsung.
Sayangnya, definisi politik uang seringkali dimaknai secara sempit dan selalu diperdebatkan definisinya secara tekstual. Pemahaman politik patronase di atas pada dasarnya membantu kita semua untuk memahami betapa luas sebetulnya politik patronase yang sedang menggejala di negeri kita.
Atas nama kedermawanan
Para konstestan dan tim suksesnya selalu mengatasnamakan kedermawanan yang dibungkus oleh kesalehan sosial. Segala pemberian bantuan apapun kepada para pemilih yang ditargetkan pasti selalu diiringi oleh argument-argumen kebaikan hati. Pemberian beras misalnya dikontesktualisasikan dengan keharusan oleh kontestan atas nama kepedulian sosial. Kucuran uang misalnya selalu diatasnamakan `bebagi rejeki'. Bantuan untuk masjid misalnya dikaitkan dengan kewajiban untuk memajukan religiusitas. Selalu ada alasan untuk membela setiap pemberian.
Pada tataran yang lebih teknis, ada debat-debat yang kuat mengenai apakah pembayaran kepada tim sukses, pemberian transport, dan atau pemberian uang konsumsi selalu dikaitkan dengan kewajaran. Padahal substansi dari semua pemberian tersebut adalah imbalan dukungan dan distribusi potensi-potensi kemenangan.
`Wani Piro'
Politik elektoral kita kemudian terlekati oleh kehadiran para broker suara. Aspinall (2014) menyebut broker ini sebagai jaringan klientilisme atau penghubung. Para broker bergerak secara aktif, progresif, dan kreatif untuk mendapatkan kandidat yang dapat diasistensi. Broker ini bisa siapa saja sepanjang bisa meyakinkan kandidat bahwa mereka dapat mendapatkan suara dan bisa menjanjikan kemenangan kontestan. Broker akan menawarkan paket pendanaan, mulai dengan cara malu-malu sampai dengan cara terbuka dan terkesan `sangat' profesional. Tim sukses, dengan derajat kedekatan emosional yang berbeda-beda dengan kandidat, adalah bagian tak terpisahkan dari broker politik. Kehadiran mereka akan sangat membantu kandidat.
Para kandidat pun membutuhkan para broker untuk mendapatkan rasa nyaman dan aman sebagai kandidat. Tak ada kandidat yang lepas dari dukungan para broker, apalagi kandidat yang memang merupakan droping dari pusat. Mereka akan membelanjakan banyak uang dan barang untuk kepentingan menyuburkan para broker.
Lalu masalahnya apa? Saya kira ada dua hal sebagai dampak lanjutannya. Pertama, sistem politik kita kemudian akan semakin rapuh dan miskin kualitas. Politik elektoral menjadi politik finansial dan uang kemudian menjadi raja di atas segalanya. Pemilu Legislatif akan melengkapkan cerita suram bagi perkembangan demokrasi. Kandidat akan berlomba-lomba memainkan politik patronase dankemudian melupakan debat-debat mengenai program dan kinerja. Politik klaim akan semakin menggejala; klaim keberhasilan, klaim kesalehan, klaim kejujuran, klaim kelayakan, dan klaim kesungguhan.
Kedua, para pemilih kemudian masuk dalam kubangan opini mengenai uangisasi politik. Kesan bahwa Pemilu identik dengan bagi-bagi barang dan pada akhirnya ada semacam paradigma yang melembaga bahwa Pemilu adalah uang. Berkembanglah politik `wani piro'. Uangisasi kemudian menjadi corak politik elektoral kita. Yang berkontribusi dalam uangisasi politik ini pada akhirnya adalah semua elemen.
Menghentikan uangisasi politik membutuhkan kesadaran bersama; sesuatu yang memang tidak mudah dan simpel. Jika problemnya adalah mindset, maka perlu internalisasi kesadaran betapa berbahanya politik uang. Sembari itu, perlu akan kesadaran kolektif mengenai substansi representasi politik. Bahwa memiih wakil tak sekedar mengantarkan orang, tapi juga memilih yang terbaik, untuk dan kebaikan kita bersama. Memulainya dengan menjadi pemilih kritis dan telaten adalah langkah awal yang bisa menjadi langkah besar. (*)
Anda sedang membaca artikel tentang
Opini: Uangisasi Politik
Dengan url
http://bangkabarita.blogspot.com/2014/03/opini-uangisasi-politik.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Opini: Uangisasi Politik
namun jangan lupa untuk meletakkan link
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar