Pemuda dan Objektivitas Nilai Pancasila

Written By Unknown on Rabu, 20 November 2013 | 11.37

Oleh: Rusydi Sulaiman, Dosen STAIN SAS & Direktur Madania Center Kepulauan Bangka Belitung

SUDAH maklum bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan yang diakui di kancah internasional, baik secara de facto maupun yuridis sebagaimana Negara-Negara berdaulat lainnya. Diantaranya karena negara ini telah memberi apresiasi kepada pemuda, dan menjunjung tinggi hal-hal yang berhubungan dengan kepemudaan. Bila diberi kesempatan, sudah pasti mereka mampu berbuat yang terbaik bagi kemajuan bangsa. Baik buruknya sebuah Negara sangat tergantung pada pemuda dan seperti apa kiprah mereka di masyarakat.

Harapannya, pemuda menjadi lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Apalagi Negara ini diperkuat dengan landasan tertentu untuk berpijak, disamping begitu banyak tokoh yang menginspirasi pemuda untuk menjadi lebih berenergi atau berkarakter. Selebihnya pemuda membekali dirinya dengan wujud budaya/ kebudayaan dan peradaban untuk menjadi civilized-people, kemudian berbuat sebanyak-banyaknya bagi orang lain.
Namun kenyataannya tidak demikian, statemen positif diatas tidak mengindikasikan kebaikan sama sekali. Belakangan ini, begitu banyak penyimpangan disebabkan oleh pemuda. Perampokan, penggelapan, perjudian, Narkoba, dekadensi moral dan semacamnya-meraja lela dimana-mana-mengarah kepada disorganisasi social. Tentu sangat meresahkan!. Pancasila yang semestinya andalan dalam berbangsa dan bernegara dikesampingkan. Bahkan di era reformasi, pedoman dan falsafah Negara dibuang jauh-jauh. Sebagian masyarakat turut mengamini sikap tersebut. Situasi Negara menjadi carut marut, dan pemuda tidak menunjukkan jatidirinya. Semangat nasionalisme terkikis habis dan setiap yang berbau Negara dipersepsikan secara apriori-tidak mengundang greget atau sentuhan yang menggerakkan. Apresiasi perlu diberikan kepada Orde Baru yang mengagung-agungkan Pancasila, dan sebaliknya tidak pernah mentolerir siapapun yang menolaknya.
Masa muda seringkali diidentikkan dengan kekosongan, kelabilan, kegamangan, ketidakberimbangan, terlalu percaya diri, egoisme, arogansi dan narsisme. Apapun yang datang langsung diadopsi tanpa reserve-mudah masuk mempengaruhi pemuda dan meng-kooptasi mereka. Maka pemuda harus termotivasi untuk menggali potensi dalam dirinya dengan penuh semangat, mobile, aktif, dinamis, antusias dan kritis, ilmiah, objektif dan rasional. Adanya gerakan dan organisasi kepemudaan dalam sejarah Indonesia mengindikasikan bahwa pemuda mampu membuktikan peran mereka berpartisipasi membangun bangsa. Pertanyaannya, apakah semua itu dilatarbelakangi idealisme yang kuat atau sebaliknya sengaja mengkooptasikan diri?. Tidak sedikit sebenarnya apa yang dapat pemuda lakukan di usia mereka, bila sekedar ingin eksis dan diakui publik.
Solusinya adalah Pancasila. Sebagai falsafah Negara, ia memiliki nilai-nilai objektif terkandung didalamnya, yaitu: Pertama, nilai ketauhidan. Bangsa Indonesia wajib meyakini faham monotheisme, satu Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Keesaan Tuhan yang dicantumkan dalam sila pertama Pancasila adalah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang satu bagi setiap agama yang diakui di Indonesia. Dan Negara menjamin kemerdekaan setiap warga Negara untuk menganut agamanya masing-masing. Keleluasaan sikap positif dalam beragama sangat dijaga. Kedua, nilia-nilai inklusivitas, spiritualitas, humanisme/kemanusiaan, kebersamaan, demokrasi, dan keadilan. Nilai-nilai tersebut bila ditanamkan dalam diri setiap individu dan disentuhkan kepada sesama di tingkat lokal dan yang lebih luas, niscaya bangsa ini akan senantiasa diapresiasi setinggi-tingginya oleh bangsa lain. Ternyata wawasan dan sikap Bangsa Indonesia tidak sempit.
Ketiga, A living and working ideology, yaitu ideologi yang dinamis dan terbuka. Pancasila diharapkan selalu up to date terhadap setiap persoalan bangsa.
Adapun nilai keempat adalah prinsip Good Governance. Sebuah Negara digagas pembentukannya oleh tokoh-tokoh yang memiliki reputasi dan integritas diri yang tinggi menuju Negara yang baik. Good Governance adalah Negara madani, sebuah Negara yang penduduknya bergelar,"civil-society". Al-farabi menyebutnya,"al-Madiinah al-Fadhilah", Negara utama. Budaya dan peradaban tinggi menjadi ciri masyarakatnya.
Dan mustahil Negara semacam ini tanpa keikutsertaan rakyat atas dasar komitmen bersama, menjunjung tinggi asas Negara Bangsa dengan perbedaan yang tegas antara urusan privat dan urusan publik, antara harta milik pribadi dan harta milik umum (Madjid,2004:120-121). Diantara prinsip-prinsip Good Governance adalah: partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsif, orientasi kesepakatan, keadilan, efektifitas dan akuntabilitas.
Kelima, visi demokratis modern tentang hubungan negara dengan masyarakat. Negara tidak dibangun atas dasar sikap otoriter seorang pemimpin, tetapi ada konstitusi yang melegitimasi kekuasaannya. Sinergitas antara pihak legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam menjalankan Negara, serta partisipasi pihak-pihak yang berada di luar kekuasaan sangat penting. Negara harus bersikap demokratis terhadap rakyatnya. Keenam, persatuan dan kesatuan. Dengan dasar nasionalisme, bangsa ini harus memupuk persatuan yang erat antar sesama warga Negara tanpa membedakan suku dan golongan serta tekat yang bulat dan satu cita-cita bersama. Kebangsaan yang dimaksud adalah nasionalisme yang tidak sempit yang hanya mengagung-agungkan bangsa sendiri dan merendahkan bangsa lain.
Namun demikian, Pancasila bukanlah agama.Ia sebatas ideologi yang bersumber dari Manusia, walaupun sempat diagung-agungkan. Pemuda yang diinginkan adalah sosok yang berkarakter; tidak sekedar memahami Pancasila, tapi nilai-nilai di dalamnya tertanam dalam jiiwa. Keberadaan diri pemuda menjadi nuansa tersendiri bagi orang lain. Pemuda tidak boleh dibiarkan kosong dan terlena dengan kekayaan yang semu serta masa muda yang bias. Tanpa karakter adalah dosa sosial setara dengan politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, sains tanpa humanitas dan peribadatan tanpa pengorbanan.
Bila dianalisis secara seksama, maka pendidikan merupakan media yang paling efektif dalam memperkuat nilai-nila Pancasila agar lahirkan pemuda berkarakter. Ki Hajar Dewantara menyebutkan tiga aspek dalam diri pemuda yang tidak boleh diabaikan, yaitu: budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran dan tubuh anak untuk tujuan kesempurnaan hidup. Tiga aspek pendidkkan karakter adalah: pendidikan moral, pendidikan kewarganegaraan dan pengembangan karakter. Aspek-aspek tersebut tidak diberikan sekaligus secara instan, tapi harus berdasarkan pada prinsip dan pendekatan program pengembangan. Yaitu: berkelanjutan, melalui semua mata pelajaran, nilai-nilai dikembangkan bukan semata diajarkan, dan dilakukan secara aktif dan menyenangkan. Karakter adalah sesuatu yang harus melekat dalam wujud-wujud kebudayaan dan peradaban manusia (wujud ideal, wujud kelakuan dan wujud material).
Pemuda berakarakter menjadi idaman. Bila terwujud, maka sosok demikian yang diharapkan mampu merubah negeri ini. Ingat pemuda!, "Be useful for all"."Berani hidup, tak takut mati. Takut mati, jangan hidup. Takut hidup, mati saja". "Sekali hidup, hiduplah yang berarti"."Hidup sekali, setelah itu mati". Apa yang diukir oleh siapapun termasuk pemuda dalam sejarah, mesti akan dikenang sepanjang masa.
Mudah-mudah apa yang kita idealisasikan tentang pemuda dapat terealisasikan dengan baik. "Young today, leaders tomorrow" adalah obsesi bangsa yang besar ini, karena pemuda adalah tiang tempat bergantungnya masyarakat.


Anda sedang membaca artikel tentang

Pemuda dan Objektivitas Nilai Pancasila

Dengan url

http://bangkabarita.blogspot.com/2013/11/pemuda-dan-objektivitas-nilai-pancasila.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Pemuda dan Objektivitas Nilai Pancasila

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Pemuda dan Objektivitas Nilai Pancasila

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger