Riswardi, MPd, Penggiat Sosial Kemasyarakatan Asal Belinyu
Isu ketidakharmonisan hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menghampiri Bangka Belitung beberapa waktu lalu. Sebuah isu liar yang bisa berdampak politik yang apabila tidak dapat dikelola dengan baik oleh kedua belah pihak akan berdampak buruk bagi rakyat dan bagi para pihak yang berseteru itu sendiri.
Beberapa analis bahkan menyebut bahwa perceraian di tengah jalan antara kepala daerah dan wakilnya lebih identik dengan hukum karma yang senantiasa akan selalu berulang dengan motif dan gaya yang sama.
Sebenarnya, ketidakcocokan relasi antara kepala daerah dan wakilnya bukanlah hal baru. Sejarah telah mencatat bahwa di Indonesia selalu terjadi persaingan untuk memperebutkan pengaruh, simpati, dan kekuasaan antara kepala daerah dan wakilnya.
Hal ini sangatlah logis mengingat umumnya porsi kepala daerah dan wakilnya diisi oleh pucuk pimpinan partai yang tidak saja membawa misi pribadi, namun pastinya membawa titipan pesan partai agar dirinya yang menjadi orang normor satu.
Untuk pasangan kepala daerah dan wakilnya yang variatif, di mana salah satunya berasal dari birokrasi atau independen dan satunya berasal dari partai politik, persaingan untuk dominan dalam berkuasa pasti akan semakin seru karena secara politis, partai pendukung tentu akan berusaha untuk "menjaga" agar pimpinan daerah asal partainya selalu tetap dominan.
Menilik penyebab keretakan hubungan antara kepala daerah dan wakilnya bila dikaitkan dengan regulasi perundang-undangan, secara tegas dan jelas di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Paragraf Dua tentang Tugas dan Wewenang serta Kewajiban Kepala Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 25.
Menilik aturan main dalam Pasal 25, 26 dan 27 UU Nomor 32 Tahun 2004 di atas jelaslah bahwa antara Kepala Daerah dan Wakilnya telah diatur tugas dan kewenangan masing-masing. Apabila ketiga pasal tersebut dilaksanakan secara konsisten sejak awal, tentu "perceraian" di tengah jalannya pemerintahan akan dapat dicegah.
Dalam konteks ini, kita perlu secara arif menilai bahwa perbedaan pendapat dalam mengelola sebuah pemerintahan di daerah adalah sebuah keniscayaan mengingat bahwa secara personal, seorang kepala daerah dan wakilnya adalah manusia biasa yang memiliki karakteristik personal yang berbeda dan "pasti" dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya pendidikan, pengalaman, gaya kepemimpinan, dan terakhir yang paling berpengaruh adalah "sensitivitas politik".
Pertanyaan terbaik untuk dimunculkan dalam konteks pemecahan masalah yang berpotensi "membahayakan tata kelola pemerintahan sehingga akan mengganggu pelayanan publik" adalah bagaimanakah sikap dan posisi kita dalam menyikapi polemik "perceraian kepala daerah dan wakilnya"? Sebagai sesama penduduk negeri Melayu Bangka Belitung yang senantiasa menjunjung tinggi etika dan norma ketimuran, penulis menyarankan agar para pihak yang bertikai, para pihak yang berwenang mendamaikan; dan masyarakat kedua daerah yang ikut menyaksikan mengambil sikap sebagai berikut.
Pertama, baik Bupati dan Wakil Bupati agar cooling down untuk mendinginkan suasana. Islah dalam Islam atau musyawarah dalam kemelayuan kita hendaknya kita dahulukan, ketimbang mempertontonkan egosentrisme masing-masing. Pada kondisi inilah, para elit partai pendukung kedua pasangan Bupati-Wakil Bupati agar berupaya untuk berkomunikasi secaara positif untuk mengambil jalan tengah agar diperoleh win-win solution yang menguntungkan kedua belah pihak. Ada pepatah nenek moyang dahulu bahwa kearifan tertinggi seorang pemimpin itu bukanlah dinilai nyata saat ia menghadapi situasi yang normal dan kondusif. Kepiawaian seorang pemimpin itu akan terlihat aslinya saat ia dihadapkan pada sebuah konflik yang menyentuh ego pribadinya sendiri. Masih dalam filsafat kemelayuan kita bahwa "mengalah untuk menang" terkadang lebih mulia ketimbang "menang untuk tidak mengalah selamanya."
Kedua, sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur beserta pimpinan daerah lainnya (Ketua DPRD, Kapolda. Kajati, Danrem) perlu ikut memotivasi para pihak yang bertikai agar dapat kembali duduk bersama untuk memikirkan kepentingan pembangunan dan kepentingan rakyat yang jauh lebih besar dan lebih bernilai ketimbang kepentingan pribadi atau hasrat berkuasa yang dalam praktiknya sering kali mengatasnamakan kepentingan rakyat luas.
Dalam konteks ini, kiranya Gubernur dapat memfasilitasi pertemuan antara Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota untuk membahas berbagai persoalan kekinian sekaligus ajang silaturahmi untuk lebih merekatkan hubungan psikologis para pihak.
Terakhir, masyarakat kedua daerah di Basel dan Bateng hendaknya tidak terpancing oleh kisruh kepala daerah dan wakilnya. Justru sebaliknya, masyarakat perlu memberikan dukungan moral kepada pimpinan mereka agar setiap persoalan dapat diselesaikan melalui cara-cara yang santun dan bermartabat. Menjelang pemilu legislatif yang jauh lebih penting, kiranya semua pihak dapat menahan diri dan agar lebih fokus untuk menyukseskan pelaksanaan pesta demokrasi yang tinggal beberapa hari lagi digelar. Selamat berdamai untuk kepentingan pembangunan dan nasib rakyat kite!. (*)
Simak berita lengkapnya di Bangka Pos/Pos Belitung/Koran BN edisi cetak
Anda sedang membaca artikel tentang
Opini: Ketidakharmonisan Kepala Daerah dan Wakilnya
Dengan url
http://bangkabarita.blogspot.com/2014/04/opini-ketidakharmonisan-kepala-daerah.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Opini: Ketidakharmonisan Kepala Daerah dan Wakilnya
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Opini: Ketidakharmonisan Kepala Daerah dan Wakilnya
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar