Iman itu Pintu

Written By Unknown on Jumat, 13 Desember 2013 | 11.37

Oleh: Masmuni Mahatma, Ketua Kaderisasi PW GP ANSOR Babel

Ada yang menarik dari uraian Mgr. Hilarius Moa Nurak selaku Uskup Pangkalpinang pada penutupan "Tahun Iman" di Gua Maria, Belinyu, Kabupaten Bangka (24/11) yang lalu. Iman, tegas Uskup, merupakan pintu rohani yang harus dimiliki dan dirawat setiap umat agar mampu menempa diri menjadi hamba yang baik. Sebagai pintu, iman itu merupakan wasilah para umat untuk memasuki kerajaan Allah dengan damai. Iman juga adalah bahasa harmoni agar umat lebih produktif  menjalin interaksi dengan sesama makhlukNya.
Tanpa merawat iman sebagai pintu rohani, kemungkinan setiap umat akan berada dalam pelbagai kegamangan selama meniti kehidupan di muka bumi. Tanpa memupuk iman dengan baik dan mencerahkan, sulit sekali bagi masing-masing umat untuk menemukan terang dalam pentas sosialnya sebagai hamba. Dan bilamana kehilangan cara berkualitas dalam memaknai maupun membawa iman, maka umat akan mudah terperosok ke selokan hidup yang (terkadang) mencemaskan.  
Iman, selain merupakan pintu rohani bagi setiap hamba, sejatinya adalah cahaya (nur) yang akan menerangi berbagai ruang sosial umat itu sendiri. Tanpa iman, umat ibarat benda yang mudah terapung dan terombang-ambing di pusaran dinamika kehidupan duniawiyah maupun yang berskala ukhrawiyah kelak. Bahkan tanpa iman, siapa saja yang mengaku menjadi umat akan sulit membedakan eksistensi dirinya dengan makhluk Tuhan yang lainnya.

Makna Iman
Dalam Islam, menurut sebagian teolog, iman identik dengan Islam. Setiap diri yang tidak beriman, ia tidak bisa otomatis disebut sebagai Islam. Bahkan, menurut Najm al Din al Nasafi, seorang teolog dari kalangan Maturidiyyah, kata-kata iman dan Islam adalah satu. Keduanya tidak bisa dipisahkan, terutama secara esensial. Dan kalau kedua kata itu dikembangkan dengan baik, tentu akan menjadi pasangan kekuatan rohani yang sangat menakjubkan dalam seluruh sendi kehambaan.
Di kalangan Asy'ariyah, tak sedikit teolog yang justru menegaskan bahwa dilihat dari aspek bahasa saja keduanya jelas berbeda. Iman berarti "pembenaran" dari seseorang dalam perspektif kehambaan kepada Allah, sementara Islam merupakan "penyerahan total" kepadaNya. Namun demikian, setidaknya kata Taftazani, keduanya merupakan satu kesatuan kuat tanpa bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Toshihiko Izutsu, sambil merensi pemikiran Ibn Taimiyyah mensinyalir bahwa antara iman dan Islam kalau didampingkan, maka wilayah makna iman akan terbatas. Iman secara khusus hanya bermakna perbuatan batin dari yang dinamakan hati. Bahkan Izutsu juga menyertakan pandangan Ahmad bin Hanbal yang mengatakan bahwa Islam itu merupakan masalah lahir, dan iman adalah urusan hati (batin).
Dinamika pengertian kedua istilah ini, kelak melahirkan pemikiran yang berbeda pula dalam tradisi Islam. Dan hampir semua mazhab (teologis) dalam Islam kemudian mentransformasikan bahwa iman, Islam dn ihsan merupakan trilogi utama dalam perspektif kehambaan yang tidak bisa diceraiberaikan. Satu dari ketiga istilah ini memiliki potensi untuk melengkapi dua istilah yang ada dengan makna yang dikandungnya. Maka cukup jelas kalau potensi dan makna  masing-masing istilah itu ternyata saling menyertai dan menyempurnakan.
Setiap diri hamba tidak bisa hanya menarik kata iman tanpa kemudian mengolahnya dengan disertai makna, potensi, dan nilai-nilai aktual keislaman. Demikian pula spirit iman dan Islam akan kurang maksimal ketika dijauhkan dari sentuhan yang dinamakan ihsan dengan berbagai bangunan etik di dalamnya. Sebab ihsan, menurut sebagian pakar, merupakan wujud aktual paling bermakna dalam proses menuju kehambaan seutuhnya di hadapan Allah SWT.
Ihsan senantiasa dimaknai sebagai perilaku aktual dari setiap umat dalam konteks keduniawian tanpa mengabaikan tuntutan dan nilai-nilai luhur yang telah dijanjikan Allah di akhirat nanti (ukhrawi). Melalui ihsan jua, Allah telah memberikan bimbingan praktis bagi setiap umat agar dapat menjaga keseimbangan antara kesibukan jasmani dengan capaian luhur rohaninya. I'mal li dunyaka ka-annaka ta'isyu abadan, wa i'mal li akhiratika ka-annaka tamutu ghadan.
Singkatnya, iman merupakan sumber potensi terluhur dalam memolah keberagamaan seorang umat. Tanpa iman, kelangsungan keberagamaan masing-masing umat tidak akan melahirkan arti dan dampak apa-apa, baik pada areal individualitas maupun pada ranah sosialnya. Sebab iman adalah esensi penggerak dan penyubur dari religiusitas setiap hamba dalam skala makro.   
 
Aktualisasi Iman
Iman juga bukan sekadar kata-kata atau istilah gersang. Iman itu pintu bagi masa depan rohani masing-masing umat beragama. Melalui iman kita bisa memasuki rahman dan rahim Allah dengan baik dan menyenangkan. Dari dan utuk iman pula kita akan dapat keluar dari cobaan maupun ujian Allah dengan penuh syukur. Bahkan, bersama iman kita akan mampu bergeser dari pergunjingan sosial kehidupan manusia secara menenteramkan.
Lemahnya iman akan membuat kita lunglai dalam beragama. Kusutnya iman dipastikan akan menyeret-nyeret kepribadian kita sebagai hamba ke arah yang kurang produktif dalam mengolah sosio-keumatan. Retaknya iman sungguh akan menyulitkan langkah-langkah umat dalam berinteraksi dengan sesama makhluk Tuhan di muka bumi. Bahkan, disadari atau tidak, pudarnya iman dari diri manusia ini akan terus memicu disorientasi dan disfungsionalisasi dari amanah luhur kekhalifahannya.  
Di era modern, aktualisasi iman memang tidak cukup hanya dengan melaksanakan ritual-ritual formal keagamaan. Sebab ritual formal semacam salat di masjid atau sembahyang di gereja, vihara, dan tempat-tempat sakral yang lain, merupakan sebahagian dari wujud kehambaan kita kepadaNya. Jauh dibalik itu, iman harus menjadi napas dan darah bagi perilaku sosial kemanusiaan kita. Tak terkecuali dalam tradisi Islam, salat bukan sekadar ritual untuk lepas dari kewajiban secara syar'i, melainkan sangat berkaitan dengan kualitas moral-kehambaan.  
Kalau iman itu masalah hati, seperti kata Ahmad bin Hanbal, maka ia akan senantiasa menghadirkan hal-hal yang mengharmoniskan dalam pola kehidupan umat beragama. Sebab hati, setidaknya kata Syaikh Abdul Qadir al Jailani, merupakan tempat bergeraknya ruh. Bahkan, meniru istilah Ibn Arabi, posisi hati bagi setiap umat beragama itu setara dengan Ka'bah, "rumah suci bagi manusia."
Sebagai sumber awal religiusitas, iman terkadang memang tampak kurang rasional. Dalam iman, setiap hamba seringkali tidak diminta selain mengedepankan apa yang dinamai kepercayaan. Sedangkan kepercayaan, dalam banyak pemahaman, selalu identik dengan pelibatan hati dari pada akal (nalar). Sebab hati, seperti dalam sajak KH. A. Mustofa Bisri atau Gus Mus, bukanlah santapan yang dihidangkan kepada setiap tamu/hati punya logika yang tidak dikenal oleh logika.
Dalam rangka membumikan nilai-nilai (ke)Tuhan(an) secara lebih produktif, tentu setiap hamba  di era modern ini perlu memenukan kembali makna iman yang sesungguhnya. Yakni, iman yang tak henti-hentinya membuka diri kepada Tuhan dan menebarkan kebajikan terhadap sesamanya. Sebab hampir semua kata iman (amanu) dalam Alquran, selalu disandingkan dengan istilah berbuat kebajikan (`amilu al shalihat).
Oleh karena itu, iman tanpa amal kebajikan, terutama kepada Tuhan dan sesama makhluk, hanya akan menjadi istilah gersang yang membosankan. Dan tak berlebihan bilamana Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa hanya iman yang disertai perbuatan baik yang selalu menyebarkan terang, membuat cinta Allah kelihatan dan menjadi nyata. (*)
    


Anda sedang membaca artikel tentang

Iman itu Pintu

Dengan url

http://bangkabarita.blogspot.com/2013/12/iman-itu-pintu.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Iman itu Pintu

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Iman itu Pintu

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger