BANGKAPOS.COM, TANGERANG SELATAN - Kondisi alam menjadikan Indonesia merupakan negara yang rentan mengalami gempa. Bahkan pada tahun 2012 Indonesia mengalami 363 kejadian gempa dengan kekuatan paling besar 8,3 skala richter (SR).
Efek gempa bervariasi tergantung pada kedekatan wilayah dengan pusat gempa dan besarnya kekuatan gempa. Gempa kekuatan ringan mungkin hanya mengakibatkan tidak akan menimbulkan kerusakan, namun gempa berkekuatan besar bisa berakibat pada runtuhnya bangunan dan menimbulkan korban.
Terakhir gempa berkekuatan 6,2 SR terjadi di dua kabupaten di Aceh Selasa (2/7/2013) lalu. Dikabarkan gempa tersebut menewaskan 22 orang dengan ratusan korban lainnya. Gempa tersebut juga merusak ratusan rumah yang berada di kedua kabupaten.
Hal tersebut yang mengharuskan adanya penanganan korban gempa yang efektif agar tidak menimbulkan komplikasi apabila korban masih bisa diselamatkan. Hanya saja, penanganan korban gempa dinilai masih belum optimal terutama untuk pemerataannya di daerah-daerah pelosok.
"Orang yang mampu melakukan penanganan korban gempa seharusnya tersebar hingga ke daerah pelosok," ujar dr. Alexander Jayadi Utama, dokter bedah dari Tim Vaskular Center Rumah Sakit Premier Bintaro, seusai Seminar Dokter "Emergency Update" bertajuk "Comprehensive Management of Crush Syndrome" di Tangerang Selatan, Sabtu (6/7/2013).
Alex mengatakan, selama ini penangan korban gempa masih berpusat di kota-kota besar, belum merata ke semua wilayah. Padahal gempa bisa terjadi di daerah-daerah pelosok, sehingga penanganan bisa terjadi lama lantaran menunggu layanan dari pusat datang.
Dalam kesempatan yang sama, ketua tim spesialis bedah vaskuler RS Premier Bintaro dr. Suhartono memaparkan, meskipun selamat, korban gempa yang tertimpa reruntuhan memiliki risiko yang disebut crush injury atau cedera hempasan. Cedera tersebut memiliki komplikasi yang sangat banyak dan berhubungan dengan sistem sirkulasi.
"Karena melibatkan sistem sirkulasi, maka bisa saja yang tertimpa kakinya, tetapi efek gangguannya organ-organ lainnya seperti paru-paru, ginjal, atau otak. Padahal organ tersebut tidak ikut tertindih," jelas Suhartono.
Suhartono mengatakan, runtuhan bukan hanya terjadi akibat gempa. Tetapi bisa juga terjadi karena aktivitas-aktivitas berrisiko tertentu seperti penambangan atau pembangunan bangunan. Maka penanganan crush injury pun perlu siap di sekitar tempat-tempat tersebut.
"Saat ini penanganan crush injury di Indonesia secara umum sebenarnya sudah baik, hanya saja perlu dioptimalkan pengetahuan dan keterapilan tenaga ahlinya. Serta harus lebih merata penyebarannya ke seluruh daerah," simpul Alex.
Anda sedang membaca artikel tentang
Suhartono : Korban Gempa Berisiko Komplikasi Sirkulasi
Dengan url
http://bangkabarita.blogspot.com/2013/07/suhartono-korban-gempa-berisiko.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Suhartono : Korban Gempa Berisiko Komplikasi Sirkulasi
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Suhartono : Korban Gempa Berisiko Komplikasi Sirkulasi
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar