Bangkapos.com - Jumat, 15 Februari 2013 10:55 WIB
Pengamat Politik, Sosial dan Ekonomi Bangka Belitung
PEGAWAI Negeri Sipil (PNS) perlu mengatur ulang pengeluran keuangan pasca penerapan Peraturan Menteri ESDM No.1 Tahun 2013 yang mengatur terhitung tanggal 1 Februari 2013 kendaraan dinas pemerintah, BUMN, BUMD dilarang menggunakan premium bersubsidi (bensin, red). Aturan ini berlaku untuk kendaraan motor dan mobil berplat merah.
Kebijakan ini harus dikaji ulang, mengingat tidak semua kendaraan dinas pemerintah berplat merah yang dipakai PNS mendapatkan anggaran tambahan khusus untuk bahan bakar minyak (BBM).
Pembatasan ini mendorong pegawai yang menggunakan kendaraan motor berplat merah lebih memilih untuk membeli bensin eceran di warung-warung yang ada di pinggir jalan daripada di SPBU. Di warung eceran tersebut, mereka bisa membeli bensin walau harganya berselisih Rp. 5.00,- sampai Rp. 1.000,- dari SPBU.
Selain itu juga, beberapa pegawai lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi baik motor maupun mobil berplat hitam ketimbang kendaraan dinas pemerintah yang mereka miliki untuk pergi ke kantor. Mereka berpikiran dengan menggunakan kendaraan pribadi berplat hitam, mereka bisa membeli bensin yang berharga lebih murah dari pertamax.
Keadaan ini tidak boleh dibiarkan karena bisnis bensin memang menjanjikan dan menghasilkan keuntungan yang cukup tinggi. Sisi negative kebijakan ini secara tidak langsung memicu dan memacu masyarakat untuk menimbun bensin (premium bersubsidi), ketika harga bensin melambung tinggi baru mereka jual.
Persoalan berulang
Persoalan pembatasan, naik dan langkanya BBM merupakan persoalan yang terjadi berulang kali di seluruh wilayah Indonesia termasuk di Babel. Sebelumnya masalah ini sempat mencuat beberapa tahun terakhir. Mahasiswa dan elemen masyarakat yang lain turun ke jalan untuk mengoreksi kebijakan pemerintah yang berencana untuk menaikkan harga BBM.
Pada saat itu, alternatif-alternatif di atas baru sekedar wacana, namun saat ini pemerintah mengambil obsi untuk membatasi kendaraan dinas berplat merah untuk tidak menggunakan bensin. Dilihat dari semangat lahirnya kebijakan Peraturan Menteri ESDM No.1 Tahun 2013 sebetulnya diharapakan dapat menghemat penggunaan bahan bakar besin.
Akar persoalan dari mahal dan langkanya BBM tidak lain karena adanya kesalahan dalam pengelolaan kekayaan alam kita, khususnya minyak bumi dan gas. Realita ini merupakan konsekuensi dari penerapan sebuah sistem yang menguntungkan pemilik modal (perusahaan asing-red).
Solusi
UU MIGAS No.22 Tahun 2001 ini sesungguhnya bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3, "Bumi, air dan kekaaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Aplikasinya, yaitu beban biaya produksi BBM di Indonesia, mulai dari biaya pemompaan (lifting), pengilangan dan transportasi, dari minyak mentah sampai menjadi BBM yang siap dijual di pompa-pompa bensin, rata-rata adalah sebesar 25 dolar AS per barel. Jika nilai tukar rupiah adalah Rp. 9.000 per dolar AS, maka biaya produksi hanya sebesar Rp. 1.500 per liternya (1 barel = 150 liter).
Seharusnya rakyat bisa menikmati harga premium sebesar Rp. 1.500 per liternya. Jika untuk kebutuhan konsumsi rakyatnya masih ada sisa, maka negara dapat mengekspornya dengan harga dunia, kemudian keuntungannya dikembalikan kepada rakyat.
Solusi lain, seandainya pemerintah harus menjual dengan harga sedikit di atas HPP, maka keuntungannya tetap harus dikembalikan pada rakyat. Pengembalian dapat diberikan secara tidak langsung, seperti untuk biaya pendidikan dan kesehatan secara murah bahkan gratis. Jika kebutuhan energi di dalam negeri tinggi, maka pengembangan energi alternatif wajib segera dilakukan, seperti konversi gas, batubara, nuklir, pembangunan PLTU, PLTN, PLTA, PLTS, PLTO.
Dengan solusi di atas, seluruh rakyat Indonesia dapat menikmati BBM dengan murah. Simpulan dari tulisan ini, yaitu langkanya BBM bersubsidi alias bensin dan dipaksanya kendaraan berplat merah untuk menggunakan pertamax yang berharga tinggi disebabkan karena adanya kesalahan dalam pengelolaan kekayaan alam yang ada di Indonesia khususnya minyak bumi. Oleh karena itu, solusi pembatasan penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan berplat merah tidak menyentuh akar persoalan bahkan akan menciptakan kesenjangan yang amat parah antar yang kaya dan yang miskin.
Solusi yang menyentuh akar persoalan, yaitu dengan mengajukan banding kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU MIGAS No. 22 Tahun 2001 yang sampai saat ini berlangsung. UU ini sarat dengan kepentingan asing dan mengenyampingkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, aplikasi teknis pengelolaan yang penulis sampaikan di atas dapat dilakukan dan rakyat dapat merasakan kesejahteraan sosial. (*)
Anda sedang membaca artikel tentang
Tinjau Ulang Larangan Penggunaan Premium Bersubsidi
Dengan url
http://bangkabarita.blogspot.com/2013/02/tinjau-ulang-larangan-penggunaan.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Tinjau Ulang Larangan Penggunaan Premium Bersubsidi
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Tinjau Ulang Larangan Penggunaan Premium Bersubsidi
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar